BATU ASAH ART EDUCATION

Batu asah adalah komunitas nir-laba yang bergerak dalam bidang pendidikan seni, khususnya seni rupa. Batu asah berdiri 2007 diKotagede, Yogyakarta.
Berangkat dari cara pandang dan kegelisahan yang sama dalam melihat permasalahan pendidikan seni rupa, kami berupaya membuat sebuah ruang study alternatif yang lebih terbuka. Beberapa agenda yang telah kami lakukan seperti diskusi, workshop dan pameran. Selain itu kami akan terus bekerja sama dengan beberapa institusi dan komunitas di luar seni rupa yang nantinya dapat untuk mencetak formula dan konsep dalam menggembangkan pendidikan seni rupa.



22/11/08

PAMERAN

Acara : Pameran “UDAN TEKEK MACAN DEDE
Tempat : Coral Gallery.
Opening : 15 Desember 2008
Waktu : 20.00 wib
Tanggal : 15 Desember – 5 Januari 2008
Allamat : Jl.Affandi {Gejayan}CTX/82 Yogyakarta.

Peserta Pameran :
1. Joenatan Kunto Arief Nugraha
2. Tegas Wahyu Nugroho
3. Ismu Ismoyo.


Udan tekek macan dede

Pranoto mongso atau pertanda zaman senantiasa menarik untuk dijadikan kajian.Terlepas dari sisi mistik, gaip dan takhyul tetapi tanda- tanda zaman bisa sedikit dijadikan acuan bagi mereka yang percaya..

Musim pancaroba dengan tetek bengek permasalahanya seperti pemanasan global, perubahan iklim yang ekstrim dan problema lingkungan secara fisik dapat kita rasakan tetapi bagaimanakah manusia memahami musim dari kacamata hatinya adakah keseadaran bahwa manusia adalah actor utama .

Dari sana tema pameran ini kita gulirkan {udan tekek macan dede}adalah sebuah guyonan untuk musim yang selalu bergerak dan sadar atau tidak kita ikut di dalamnya.

Meskipun tidak terlalu relevan mengaitkan banyaknya bencana yang terjadi dengan perilaku hidup masyarakat, tidak salahnya Bangsa Indonesia untuk introspeksi diri. Mulai dari pemimpin formal dan nonformal sampai masyarakat biasa, merenungkan kembali perilaku hidup selama ini.ataukah masih ada hitungan ya dan tidak bagi suara udan tekek dan macan yang berjemur di saat hujan.

Intropeksi Macan Dede


Menyambung kata pembuka di atas, kita tahu, seni selalu dikaitkan dengan proses penciptaanya Bagi sekelompok orang yang memandang sesuatu secara holistik mungkin tidak akan tertarik pada pembahasan tentang unsur, oleh karena unsur merupakan bagian terkecil dari sesuatu yang membentuk kesatuan sistem. Bagi kelompok ini akan lebih tertarik pada prinsip-prinsipnya, apakah karya seni rupa itu secara keseluruhan enak di lihat atau tidak. Namun bagi kelompok atau orang yang berfikiran prakmatis, formal, atau struktural akan mengatakan enak tidaknya suatu karya Seni Rupa itu dinikmati adalah adanya unsur-unsur yang membentuknya.

Berangkat dari sinilah terbuka berbagai kemungkinan dalam penciptaan dan pemaknaan terhadap karya seni yang lebih luas, termasuk di dalamnya penemuan teknik-teknik visualisasi, inovasi, eksplorasi dan konsep-konsep alternative.

Bagaimana dengan seni yang mengikuti {musim} saat panas ikut panas saat dingin ikut dingin dan saat cuaca berubah mereka harus berjuang untuk menyesuaikan.

Disini kami melihat nilai ekspesi adalah perjuangan untuk hidup, dengan tahu akan banyak musim dan cara menyikapinya. Masing-masing dari kami mentrjemahkan itu secara bebas tetapi masih ada benang merah bahwa ketertarikan kami akan alam dan perubahan musim yang kami lihat dan rasakan.

Seperti tersirat dalam syair lagu ini:

Ono udan salah mangsa, sawiji ing tanah jawa
Gemah ripah loh jinawi ora kurang samu barang
Kutho budoyo terkenal ing nusantara
Ngayogyakarta sakmintene
gambarane kutho udan salah mangsa.

KURATORIAL PAMERAN UDAN TEKEK MACAN DHEDHE

ASPIRIN

Ono udan salah mangsa…sawiji ing tanah Jawa

Itulah sepenggal syair yang saya kutip dari rilis pameran kali ini, sepotong syair berbahasa Jawa yang menurut saya adalah sebuah bentuk kesadaran manusia terhadap dunia yang ditempatinya ketika manusia dengan akal budinya kemudian mampu memahami dan berkompromi dengan alam beserta segenap fenomena yang melingkupinya. Tanda-tanda dari alam yang sedemikian luas lama kelamaan mampu dibaca sebagai sebuah pola dan siklus yang terwujud dalam sistem pranoto mongso (tatanan musim), sebuah kerja besar yang tidak serta merta dengan mudah tercipta tanpa serangkaian panjang proses yang tekun dan dituntun oleh kebijaksanaan alami. Dari serangkaian tanda yang tersusun itulah kemudian manusia berkompromi dengan kekuatan alam dan bahkan mampu memanfaatkannya untuk keberlangsungan hidupnya semisal bertani, berlayar dan bahkan dengannya manusia mampu “memetakan” waktu sebagai titikan waktu yang “baik” dan “tidak” untuk melakukan aktifitas tertentu yang seolah tidak rasional sama sekali terlebih ditengah jaman “maju” seperti ini, mialnya pada hari anu jangan bepergian keaarah anu karena pada hari tersebut perhitungan hari jatuh pada hitungan jelek atau tiba ringkel dalam istilah Jawanya, atau sebuah contoh yang mungkin lebih ekstrim lagi, dulu semasa saya kecil yang sangat saya ingat, saat siang hari terjadi gempa bumi bapak saya segera mencocokkan dengan primbon yang merupakan warisan kakek dan disitu terbaca hal yang sama persis mengenai apa yang sedang berlaku saat itu tentang sanepan atau semacam kode alam yang terjadi, entah kebetulan entah tidak namun sejak itulah saya kemudian mulai percaya bahwa apa yang dituliskan dalam primbon dan pranoto mongso tersebut tidak sekedar dituliskan secara asal tanpa landasan yang kuat walaupun mungkin sulit dibuktikan secara empirik, terlebih di hari gini yang mana seolah segala hal harus mendasarkan diri pada kekuatan rasio manusia. Namun sebenarnya disini terlihat dengan jelas adanya kemampuan luar biasa dari nenek moyang kita untuk mampu melihat jauh kedepan melalui pembacaan setiap tanda alam yang terjadi.
Dari sinilah tampaknya pameran ini memulai perjalanan kreatifnya, tanda-tanda alam dan musim kemudian dicoba digulirkan sebagai sebuah landasan estetik yang disadari ataupun tidak, justru dari musim itu sendirilah warna dan karakter suatu karya bertumpu, udan tekek macan dede yang secara harfiah berarti hujan tokek harimau berjemur (udan tekek dalam istilah Jawa berarti hujan yang turun disaat matahari terik bersinar) kemudian menjadi sebuah payung besar ketiga seniman ini untuk berlindung dari hujan stagnasi dan badai monoton yang umumnya turun pada saat sebuah musim sedang melanda, entah itu sekedar trend sesaat ataupun sebagai sebuah bentuk konstruksi pemikiran dan wacana yang established dalam skala yang lebih luas. Saat sedang musimnya kita pasti menemui barang yang sedang musim itu disegala tempat dengan bentuk dan perwajahan yang kurang lebih sama apapun itu bisa musim buah, musim rebonding rambut dan bahkan musim panen….seni(rupa) kontemporer sekalipun.
Tema Udan tekek macan dede menjadi sebuah kode terbuka yang mendasarkan musim beserta segala tafsirnya sebagai landasan berfikir mereka, karena kemudian ternyata permasalahan yang diangkat telah bergerak berkembang lebih jauh ketimbang sekedar berbicara seputar masalah musim dan cuaca secara verbal yang kemungkinan malah akan menjatuhkan eksekusi karya pada euphoria tematik sesaat, ketika hujan turun ditengah terik matahari dan para “harimau” justru berjemur tanpa merasa perlu menganggap serius hujan yang turun, tampaknya ketiga seniman ini lebih memilih untuk lebih berhati-hati dalam menyikapi cuaca yang tidak menentu ini karena bisa jadi berjemur ditengah hujan meskipun matahari bersinar cerah adalah tetap tindakan yang konyol, salah-salah kulit gosong dan penyakit flu justru mungkin didapat sehingga mereka sepertinya lebih memilih berteduh dalam pergulatan karakter estetika masing-masing untuk menafsirkan setiap ayat dari musim itu sendiri seperti tampak pada karya –karya Ismu Ismoyo yang banyak mengeksplorasi bentuk-bentuk semacam tulang dan figur-figur manusia serta benda-benda yang terabstraksi, akan sulit mungkin bagi kita menangkap kearah mana sebenarnya karya ini akan membawa kita kalau kita menanggapi karyanya secara tidak terbuka tanpa membiarkan imajinasi kita bermain sembari mengalirkan kembali memori tentang posisi kita sebagai manusia mengenai hakikat dan posisinya ditengah musim hujan rintik-rintik bertabur cahaya matahari yang tidak menentu ini, spiritualitas tentang rasa syukur dan pelafalannya yang terkadang begitu kelu diucapkan dan hal-hal yang sebenarnya cukup ringan namun selalu hadir secara intens menjadikannya sebagai pijakan yang cukup menarik, hal yang kurang lebih sama terjadi dalam karya Tegas Wahyu Nugroho yang terlihat seakan menarik segala tanda-tanda musim itu sendiri kedalam dirinya dan kemudian secara sadar mengeluarkannya sedikit demi sedikit keatas kanvasnya dengan bahasa yang mungkin sedemikian personalnya sehingga kita terkadang hanya menemui “musim” yang lain melalui bahasa ungkapnya, sebuah musim yang “berat” yang seolah hanya mampu diceritakan secara sinis dan terbata-bata sembari menertawakan diri melalui “gerutuan” yang banyak tertulis dikanvasnya. Sedangkan Jonathan tampak lebih lugas ringan bertutur melalui bahasa visualnya yang terasa komikal yang paling tidak akan cenderung lebih mudah untuk menangkap jejak musim melalui suasana yang dibangun dalam karya-karyanya, tentang potongan-potongan realitas keseharian yang dianggapnya menarik semisal berita-berita yang ditontonnya melalui televisi kemudian dituangkan kedalam karya yang menurutnya sangat dipengaruhi mood nya oleh cuaca ditambah dengan pandangan-pandangan pribadinya, toh ketiganya tampak tak hendak memaparkan semacam prakiraan cuaca yang membosankan dan mendikte selain memberikan semacam ruang berfikir alternatif melalui setiap bahasa ungkap mereka yang mengetengahkan semangat eksplorasi dan bermain yang cukup intens namun tetap menjaga jarak terhadap setiap konteks realitas yang mereka hadapi selain menanggapinya secara fragmentatif dan mengolahnya lagi sedemikian rupa menjadi tuangan ekspresi yang subyektif sebagaimana lazimnya sebuah karya seni melalui sudut pandang mereka sendiri.
Lantas sejauh manakah musim sesungguhnya memainkan peranan dalam karya mereka? Rasa-rasanya hal tersebut tidak akan mudah dicari jawabnya melalui jejak yang mereka tinggalkan ditanah becek selepas musim hujan ini karena selain musim yang terus bergerak, tampaknya ketiga seniman ini justru memandang musim sebagai sesuatu yang relatif dan tidak tetap sehingga sulit rasanya untuk mendapatkan jawaban yang bisa diamini secara konsisten dan kolektif serta memuaskan banyak pihak selain hanya bisa dibaca secara samar-samar sebagaimana pelangi yang selalu muncul selepas terjadinya udan tekek dan sang macanpun sepertinya sekarang membutuhkan aspirin dan jaket penghangat karena masuk angin…


Dhidhik Danardhono
Karangmalang 2008





17/11/08

DEDY PRASETIANTO

reduk,2008


ROSSI ALAM FIDIANSYAH

ensiklopesick, 2007

where am i, 2007

hope, 2008

hypocrite, 2008

16/11/08

15/11/08

FAJAR SUSANTO (FJ KUNTHING)

horny day, 2007



bulan ke 249

DHIDIK DANARDONO

untitled, 2006
remains, 2007

drain, 2007

14/11/08

ISMU ISMOYO

The walker, 2007
Kusyuk dan syah, 2007

JONATAN KUNTO

boleh aku masuk, 2007

tahta strobery,2007

TEGAS WAHYU NUGROHO

cerita neraka dante, 2006
home sweet home, 2007
beetween the angel and manequeen, 2007


03/07/08

mencari pendidikan seni rupa yang ideal

“Meniru Alam” (Mimesis) itulah yang diungkapkan Plato untuk mendefinisikan “human activity” dalam kontek Seni. Esensi yang diungkapkan plato ini mewakili perjalanan seni rupa dalam menemani kehidupan manusia dari masa prasejarah hingga millennium, pada dasarnya seni adalah naluri manusia untuk berkreatifitas dan berekspresi, hal ini tidaklah dipelajari. Gambar Visual pertama dalam sejarah kehidupan manusia ialah lukisan gua yang berfungsii sebagai ritual manusia purba untuk dapat menangkap hewan buruannya, sen mendokumentasikan peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah manusia dari seluruh belahan dunia sebelum ditemukannya Fotografi, seni rupa berkembang karena selalu adanya konsep pembaruan (Brand New Concept) dari model-model lama, tanpa ini seni hanyalah sepatu usang yang layak dibuang. Manusia membutuhkan seni oleh sebab itu dibutuhkan generasi yang mewarisi dan meneruskan seni budaya yang telah ada, dan terbentuklah institusi pendidikan seni rupa hingga sekarang.

Seni Rupa dalam konteks pembelajaran untuk institusi pendidikan di Indonesia dewasa ini cukup berkembang, karena kebijakan otonomi daerah maka kurikulum pendidikan seni memberikan kebebasan untuk menentukan ranah materinya sendiri untuk tiap daerah yang disesuaikan dengan budaya daerahnya masing-masing. Materi pendidikan seni rupa untuk sekolah-sekolah di lingkungan perkotaan mungkin akan berbeda dengan sekolah di lingkungan pedesaan, dan mungkin pula akan terjadi saling silang materi pembelajaran (Crossing Culture) untuk tujuan memperkaya perbendaharaan seni, hal ini tergantung pada kreatifitas para pengajar seni rupa dalam menentukan tujuan hasil pembelajarannya, akan mencetak apakah siswa yang dididiknya kelak, seniman atau pekerja seni/tukang? alternatif yang kedua ialah pilihan yang adaptif dengan kondisi kehidupan di Indonesia sekarang.

Pendidikan ideal seperti apakah yang diimpikan dalam pembelajaran seni rupa kita? Penulis berpendapat jawabannya ialah pendidikan yang tidak menjauhi kulturnya dan adaptif dengan apa yang dibutuhkan oleh siswa untuk bekalnya kelak di masa depan, hal ini harus ditunjang oleh materi yang erat dengan unsur “skill life”, tujuannya ialah agar setelah siswa habis masa belajarnya di sekolah mereka bisa berkarya kreatif untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sekedar berekspresi seni, ataupun meneruskan untuk mendalaminya di lembaga pendidikan yang spesifik. Tujuan pendidikan seni rupa ialah membentuk manusia yang kreatif, siswa dididik dan dilatih agar selalu kreatif karena dengan bekal itu mereka akan siap menghadapi masa depan yang sangat kompetitif.


Pendidikan Seni Rupa dengan Pendekatan Multikultur

Pendidikan seni rupa di sekolah umum yang semula hanya mencakup kegiatan menggambar, kemudian juga dikembangkan ke bidang seni rupa yang lain. Pergeseran ini telah berlangsung sejak permulaan abad ke-19. Sepanjang perjalanannya, pendidikan seni rupa di sekolah umum menawarkan beragam tujuan. Seperti apakah pendidikan seni rupa yang cocok diterapkan di Indonesia?

Salah satu tujuan pendidikan seni rupa adalah mengembangkan keterampilan menggambar, menanamkan kesadaran budaya-lokal, mengembangkan kemampuan apresiasi seni rupa, menyediakan kesempatan mengaktualisasikan diri, mengembangkan penguasaan disiplin ilmu seni rupa, dan mempromosikan gagasan multikultural.
Pendidikan seni rupa sesungguhnya merupakan istilah yang relatif baru digunakan dalam dunia persekolahan. Pada mulanya digunakan istilah pengajaran menggambar. Penggunaan istilah pengajaran menggambar ini berlangsung cukup lama hingga kemudian digantikan dengan istilah pendidikan seni rupa sejalan dengan meluasnya cakupan pelajaran yang diberikan, serta bergesernya fokus pembinaan.
Pada pendidikan seni rupa, materi pelajaran yang diberikan tidak hanya menggambar tetapi juga beragam bidang seni rupa yang lain seperti mematung, mencetak, menempel, dan juga apresiasi seni. Fokus pembinaan tidak hanya pada pelatihan keterampilan koordinasi mata dan tangan, tetapi juga pada pengembangan fungsi jiwa yang memungkinkan anak menjadi sensitif dan kreatif.
Pendidikan seni rupa di sekolah hadir untuk memenuhi harapan masyarakat. Itulah sebabnya ia senantiasa berkembang mengikuti harapan masyarakat sebagaimana yang dapat ditelusuri pada uraian mengenai berbagai tujuan pendidikan seni rupa di sekolah.
Pengembangan keterampilan menggambar. Menggambar mulai diajarkan di sekolah umum di Eropa (sebagaimana sekolah umum yang dikenal dewasa ini). Tujuan pengajaran menggambar di sekolah adalah untuk menjadikan anak pintar menggambar melalui latihan koordinasi mata dan tangan yang amat ketat. Cara pengajaran seperti ini mengikuti pola pelatihan yang berlangsung di akademi seni rupa di Eropa.
Asselbergs dan Knoop (1995; 5) menuliskan tentang apa yang dilakukan oleh murid dalam kegiatan menggambar di sekolah di Belanda berdasarkan pendekatan ini sebagai berikut. Mereka belajar menggambarkan garis lurus, sudut, segi empat, lengkungan, dan lingkaran untuk kemudian menggambarkan bentuk tiga dimensional yang lebih rumit. Karena guru pada umumnya tidak cukup terampil dalam hal menggambar seperti yang harus dilakukan ini, maka mereka sangat tergantung pada buku pegangan yang berfungsi sebagai alat bantu mengajar.
Di Indonesia, pengajaran menggambar di sekolah berawal pada masa penjajahan Belanda sejalan dengan diperkenalkannya sistem persekolahan. Pengajaran menggambar di sekolah yang disponsori oleh pemerintah kolonial waktu itu, juga menekankan pada pelatihan keterampilan menggambar dengan harapan para lulusan dapat dimanfaatkan keterampilannya kelak saat bekerja untuk pemerintah.
Menurut Soedarso SP dan kawan-kawan (1972 ; 28) buku yang digunakan dalam pengajaran menggambar di sekolah, sama dengan yang dipakai di negeri Belanda yakni ''Het Tekenen Naar Vlakte Figuren'' karya Zwier dan Jansma. Buku ini berisi gambar yang melukiskan pemandangan alam Belanda dengan kincir angin, peternakan, serta bunga tulipnya yang terkenal untuk ditirukan oleh murid.
Sesudah proklamasi kemerdekaan Indonesia, praktik pengajaran menggambar masih meneruskan metode lama yang bertujuan untuk menjadikan anak pintar menggambar melalui pelatihan koordinasi mata dan tangan. Hal ini dapat dimengerti karena guru yang mengajar di sekolah mempraktikkan apa yang diajarkan kepadanya saat mereka bersekolah. Buku pegangan menggambar yang digunakan relatif sama dengan yang digunakan pada masa kolonial.

Penanaman Kesadaran Budaya Lokal

Meluasnya pengaruh metode pengajaran menggambar berdasarkan tradisi Barat (Eropa) menimbulkan reaksi negatif di berbagai negara di Asia. Di Jepang, misalnya, yang sejak masa Restorasi Meiji menerapkan tradisi menggambar ala Barat di sekolah, timbul keinginan untuk menanamkan pada diri murid rasa kebanggaan pada budaya tradisional Jepang. Cara yang ditempuh adalah dengan memperkenalkan teknik seni rupa tradisional Jepang di sekolah, misalnya dengan menggunakan kuas, dan bukannya pensil, dalam menggambar.
Perlunya murid mempelajari seni rupa tradisional Jepang kembali ditekankan pada masa Perang Dunia II. Menurut Masuda (1992, 102) pada Shotoka Zuga, buku teks pelajaran menggambar untuk sekolah dasar, ditegaskan bahwa guru harus menanamkan kepada murid akan kehebatan tradisi Jepang.
Di Cina, seni rupa tradisional seperti seni kaligrafi dan seni lukis juga menjadi bagian penting dari program pendidikan di sekolah dengan fokus kegiatan pada pengenalan teknik tradisional Cina sebagaimana yang diterapkan oleh para seniman.
Misalnya, bagaimana memegang dan menggoreskan kuas, cara duduk yang tepat, cara mencampur tinta, dan sebagainya. Teknik tradisional Cina ini diajarkan secara ketat dan murid tidak dibiarkan untuk bereksperimen sendiri. Tentu saja metode pengajaran yang serba ketat dan terikat seperti ini bukannya tanpa tujuan. Tujuannya adalah untuk menanamkan pada diri anak rasa memiliki budaya leluhur yang mereka agungkan.
Di Indonesia, kesadaran untuk menawarkan program pendidikan yang berakar pada budaya-lokal ditunjukkan oleh tokoh pendidik yang aktif memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Tokoh pendidik pejuang ini menyadari bahwa sistem persekolahan kolonial tidak kondusif bagi penanaman rasa kebanggaan terhadap budaya sendiri. Oleh karena itu, mereka mendirikan sekolah swasta dengan filosofi yang berbeda. Dua di antara sekolah tersebut adalah Taman Siswa dan Indonesische-Nederlansche School (INS).

Mengaktualisasikan Diri

Kecenderungan baru yang terjadi dalam dunia pendidikan seni rupa di awal abad ke-20 tidak hanya dipengaruhi oleh ide-ide yang berkembang dalam dunia pendidikan sehubungan dengan banyaknya studi tentang dunia kejiwaan anak, tetapi juga dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi dalam dunia kesenian, khususnya seni rupa.
Dalam dunia seni rupa, terjadi perubahan yang drastis di penghujung abad ke-19 yang ditandai oleh lahirnya berbagai corak lukisan dan patung yang sama sekali berbeda dengan corak lukisan dan patung mimesis atau ''peniruan alam'' yang telah mentradisi. Perubahan yang terjadi ini didorong oleh semangat para pelukis dan pematung untuk tampil secara bebas.
Meningkatnya apresiasi terhadap seni modern pada waktu itu mengantarkan pada diakuinya karya seni rupa anak (gambar, patung, cetak) sebagai karya seni dalam arti yang sesungguhnya. Frank Cizek, seorang seniman dan pendidik seni rupa dari Austria, merupakan orang yang pertama kali mengakui secara terbuka nilai intrinsik karya seni rupa anak (Efland; 1990, 195).
Cizek yakin bahwa karya seni rupa anak adalah karya seni yang hanya mampu dihasilkan oleh anak. Untuk itu, karya anak semestinya dibiarkan tumbuh bagaikan bunga tanpa pengaruh orang dewasa (Macdonald; 1970, 341- 342). Ide bahwa anak seharusnya dibebaskan dari pengaruh orang dewasa dalam kegiatan penciptaan karya seni rupa agar dapat mengaktualisasikan dirinya, kemudian populer dengan istilah pendekatan ekspresi-bebas atau pendekatan berbasis-anak.
Di Inggris, wacana pendidikan seni rupa multikultural mewarnai dunia pendidikan seni rupa di sekolah sejak dekade 1990-an. Karena pendidikan seni rupa multikultural dianggap penting dan menyangkut hal yang sensitif dan tidak mudah dilaksanakan, beragam pedoman penyelenggaraan serta perangkat kurikulum diterbitkan.
Berbagai pusat pendidikan seperti sekolah, museum, atau galeri seni rupa merekrut seniman dari kaum minoritas untuk dijadikan sebagai narasumber. Menurut Allison (1995, 148) di banyak kota besar di Inggris, sekolah yang jumlah muridnya dari kelompok minoritas cukup signifikan, umumnya melaksanakan program pendidikan seni rupa multikultural.
Di Australia, pendidik seni rupa pendukung pendekatan multikultural mengembangkan program yang relevan dengan kondisi Australia yang kehidupannya didominasi oleh budaya Barat, sementara masyarakat asli Australia sendiri yakni aborigin, dalam berbagai hal terpinggirkan.
Di Indonesia, berbagai gagasan tentang pendidikan seni rupa multikultural juga mulai banyak dilontarkan. Pada Seminar dan lokakarya pendidikan seni yang disponsori oleh Universitas Negeri Jakarta dan Ford Foundation di Jakarta pada pertengahan April 2001, misalnya, pendidikan seni multikultural dengan fokus pada kegiatan apresiasi seni nusantara secara khusus dibahas. Pada umumnya peserta seminar setuju dengan gagasan pendidikan seni multikultural. Persoalannya adalah bagaimana melaksanakannya di sekolah agar tujuan yang diemban oleh pendidikan seni multikultural dapat dicapai. (sut, berbagai sumb
)


lurus dan bengkokbelajar garis belum tentu membuat kita bisa membedakan lurus dan bengkok