BATU ASAH ART EDUCATION

Batu asah adalah komunitas nir-laba yang bergerak dalam bidang pendidikan seni, khususnya seni rupa. Batu asah berdiri 2007 diKotagede, Yogyakarta.
Berangkat dari cara pandang dan kegelisahan yang sama dalam melihat permasalahan pendidikan seni rupa, kami berupaya membuat sebuah ruang study alternatif yang lebih terbuka. Beberapa agenda yang telah kami lakukan seperti diskusi, workshop dan pameran. Selain itu kami akan terus bekerja sama dengan beberapa institusi dan komunitas di luar seni rupa yang nantinya dapat untuk mencetak formula dan konsep dalam menggembangkan pendidikan seni rupa.



03/07/08

mencari pendidikan seni rupa yang ideal

“Meniru Alam” (Mimesis) itulah yang diungkapkan Plato untuk mendefinisikan “human activity” dalam kontek Seni. Esensi yang diungkapkan plato ini mewakili perjalanan seni rupa dalam menemani kehidupan manusia dari masa prasejarah hingga millennium, pada dasarnya seni adalah naluri manusia untuk berkreatifitas dan berekspresi, hal ini tidaklah dipelajari. Gambar Visual pertama dalam sejarah kehidupan manusia ialah lukisan gua yang berfungsii sebagai ritual manusia purba untuk dapat menangkap hewan buruannya, sen mendokumentasikan peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah manusia dari seluruh belahan dunia sebelum ditemukannya Fotografi, seni rupa berkembang karena selalu adanya konsep pembaruan (Brand New Concept) dari model-model lama, tanpa ini seni hanyalah sepatu usang yang layak dibuang. Manusia membutuhkan seni oleh sebab itu dibutuhkan generasi yang mewarisi dan meneruskan seni budaya yang telah ada, dan terbentuklah institusi pendidikan seni rupa hingga sekarang.

Seni Rupa dalam konteks pembelajaran untuk institusi pendidikan di Indonesia dewasa ini cukup berkembang, karena kebijakan otonomi daerah maka kurikulum pendidikan seni memberikan kebebasan untuk menentukan ranah materinya sendiri untuk tiap daerah yang disesuaikan dengan budaya daerahnya masing-masing. Materi pendidikan seni rupa untuk sekolah-sekolah di lingkungan perkotaan mungkin akan berbeda dengan sekolah di lingkungan pedesaan, dan mungkin pula akan terjadi saling silang materi pembelajaran (Crossing Culture) untuk tujuan memperkaya perbendaharaan seni, hal ini tergantung pada kreatifitas para pengajar seni rupa dalam menentukan tujuan hasil pembelajarannya, akan mencetak apakah siswa yang dididiknya kelak, seniman atau pekerja seni/tukang? alternatif yang kedua ialah pilihan yang adaptif dengan kondisi kehidupan di Indonesia sekarang.

Pendidikan ideal seperti apakah yang diimpikan dalam pembelajaran seni rupa kita? Penulis berpendapat jawabannya ialah pendidikan yang tidak menjauhi kulturnya dan adaptif dengan apa yang dibutuhkan oleh siswa untuk bekalnya kelak di masa depan, hal ini harus ditunjang oleh materi yang erat dengan unsur “skill life”, tujuannya ialah agar setelah siswa habis masa belajarnya di sekolah mereka bisa berkarya kreatif untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sekedar berekspresi seni, ataupun meneruskan untuk mendalaminya di lembaga pendidikan yang spesifik. Tujuan pendidikan seni rupa ialah membentuk manusia yang kreatif, siswa dididik dan dilatih agar selalu kreatif karena dengan bekal itu mereka akan siap menghadapi masa depan yang sangat kompetitif.


Pendidikan Seni Rupa dengan Pendekatan Multikultur

Pendidikan seni rupa di sekolah umum yang semula hanya mencakup kegiatan menggambar, kemudian juga dikembangkan ke bidang seni rupa yang lain. Pergeseran ini telah berlangsung sejak permulaan abad ke-19. Sepanjang perjalanannya, pendidikan seni rupa di sekolah umum menawarkan beragam tujuan. Seperti apakah pendidikan seni rupa yang cocok diterapkan di Indonesia?

Salah satu tujuan pendidikan seni rupa adalah mengembangkan keterampilan menggambar, menanamkan kesadaran budaya-lokal, mengembangkan kemampuan apresiasi seni rupa, menyediakan kesempatan mengaktualisasikan diri, mengembangkan penguasaan disiplin ilmu seni rupa, dan mempromosikan gagasan multikultural.
Pendidikan seni rupa sesungguhnya merupakan istilah yang relatif baru digunakan dalam dunia persekolahan. Pada mulanya digunakan istilah pengajaran menggambar. Penggunaan istilah pengajaran menggambar ini berlangsung cukup lama hingga kemudian digantikan dengan istilah pendidikan seni rupa sejalan dengan meluasnya cakupan pelajaran yang diberikan, serta bergesernya fokus pembinaan.
Pada pendidikan seni rupa, materi pelajaran yang diberikan tidak hanya menggambar tetapi juga beragam bidang seni rupa yang lain seperti mematung, mencetak, menempel, dan juga apresiasi seni. Fokus pembinaan tidak hanya pada pelatihan keterampilan koordinasi mata dan tangan, tetapi juga pada pengembangan fungsi jiwa yang memungkinkan anak menjadi sensitif dan kreatif.
Pendidikan seni rupa di sekolah hadir untuk memenuhi harapan masyarakat. Itulah sebabnya ia senantiasa berkembang mengikuti harapan masyarakat sebagaimana yang dapat ditelusuri pada uraian mengenai berbagai tujuan pendidikan seni rupa di sekolah.
Pengembangan keterampilan menggambar. Menggambar mulai diajarkan di sekolah umum di Eropa (sebagaimana sekolah umum yang dikenal dewasa ini). Tujuan pengajaran menggambar di sekolah adalah untuk menjadikan anak pintar menggambar melalui latihan koordinasi mata dan tangan yang amat ketat. Cara pengajaran seperti ini mengikuti pola pelatihan yang berlangsung di akademi seni rupa di Eropa.
Asselbergs dan Knoop (1995; 5) menuliskan tentang apa yang dilakukan oleh murid dalam kegiatan menggambar di sekolah di Belanda berdasarkan pendekatan ini sebagai berikut. Mereka belajar menggambarkan garis lurus, sudut, segi empat, lengkungan, dan lingkaran untuk kemudian menggambarkan bentuk tiga dimensional yang lebih rumit. Karena guru pada umumnya tidak cukup terampil dalam hal menggambar seperti yang harus dilakukan ini, maka mereka sangat tergantung pada buku pegangan yang berfungsi sebagai alat bantu mengajar.
Di Indonesia, pengajaran menggambar di sekolah berawal pada masa penjajahan Belanda sejalan dengan diperkenalkannya sistem persekolahan. Pengajaran menggambar di sekolah yang disponsori oleh pemerintah kolonial waktu itu, juga menekankan pada pelatihan keterampilan menggambar dengan harapan para lulusan dapat dimanfaatkan keterampilannya kelak saat bekerja untuk pemerintah.
Menurut Soedarso SP dan kawan-kawan (1972 ; 28) buku yang digunakan dalam pengajaran menggambar di sekolah, sama dengan yang dipakai di negeri Belanda yakni ''Het Tekenen Naar Vlakte Figuren'' karya Zwier dan Jansma. Buku ini berisi gambar yang melukiskan pemandangan alam Belanda dengan kincir angin, peternakan, serta bunga tulipnya yang terkenal untuk ditirukan oleh murid.
Sesudah proklamasi kemerdekaan Indonesia, praktik pengajaran menggambar masih meneruskan metode lama yang bertujuan untuk menjadikan anak pintar menggambar melalui pelatihan koordinasi mata dan tangan. Hal ini dapat dimengerti karena guru yang mengajar di sekolah mempraktikkan apa yang diajarkan kepadanya saat mereka bersekolah. Buku pegangan menggambar yang digunakan relatif sama dengan yang digunakan pada masa kolonial.

Penanaman Kesadaran Budaya Lokal

Meluasnya pengaruh metode pengajaran menggambar berdasarkan tradisi Barat (Eropa) menimbulkan reaksi negatif di berbagai negara di Asia. Di Jepang, misalnya, yang sejak masa Restorasi Meiji menerapkan tradisi menggambar ala Barat di sekolah, timbul keinginan untuk menanamkan pada diri murid rasa kebanggaan pada budaya tradisional Jepang. Cara yang ditempuh adalah dengan memperkenalkan teknik seni rupa tradisional Jepang di sekolah, misalnya dengan menggunakan kuas, dan bukannya pensil, dalam menggambar.
Perlunya murid mempelajari seni rupa tradisional Jepang kembali ditekankan pada masa Perang Dunia II. Menurut Masuda (1992, 102) pada Shotoka Zuga, buku teks pelajaran menggambar untuk sekolah dasar, ditegaskan bahwa guru harus menanamkan kepada murid akan kehebatan tradisi Jepang.
Di Cina, seni rupa tradisional seperti seni kaligrafi dan seni lukis juga menjadi bagian penting dari program pendidikan di sekolah dengan fokus kegiatan pada pengenalan teknik tradisional Cina sebagaimana yang diterapkan oleh para seniman.
Misalnya, bagaimana memegang dan menggoreskan kuas, cara duduk yang tepat, cara mencampur tinta, dan sebagainya. Teknik tradisional Cina ini diajarkan secara ketat dan murid tidak dibiarkan untuk bereksperimen sendiri. Tentu saja metode pengajaran yang serba ketat dan terikat seperti ini bukannya tanpa tujuan. Tujuannya adalah untuk menanamkan pada diri anak rasa memiliki budaya leluhur yang mereka agungkan.
Di Indonesia, kesadaran untuk menawarkan program pendidikan yang berakar pada budaya-lokal ditunjukkan oleh tokoh pendidik yang aktif memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Tokoh pendidik pejuang ini menyadari bahwa sistem persekolahan kolonial tidak kondusif bagi penanaman rasa kebanggaan terhadap budaya sendiri. Oleh karena itu, mereka mendirikan sekolah swasta dengan filosofi yang berbeda. Dua di antara sekolah tersebut adalah Taman Siswa dan Indonesische-Nederlansche School (INS).

Mengaktualisasikan Diri

Kecenderungan baru yang terjadi dalam dunia pendidikan seni rupa di awal abad ke-20 tidak hanya dipengaruhi oleh ide-ide yang berkembang dalam dunia pendidikan sehubungan dengan banyaknya studi tentang dunia kejiwaan anak, tetapi juga dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi dalam dunia kesenian, khususnya seni rupa.
Dalam dunia seni rupa, terjadi perubahan yang drastis di penghujung abad ke-19 yang ditandai oleh lahirnya berbagai corak lukisan dan patung yang sama sekali berbeda dengan corak lukisan dan patung mimesis atau ''peniruan alam'' yang telah mentradisi. Perubahan yang terjadi ini didorong oleh semangat para pelukis dan pematung untuk tampil secara bebas.
Meningkatnya apresiasi terhadap seni modern pada waktu itu mengantarkan pada diakuinya karya seni rupa anak (gambar, patung, cetak) sebagai karya seni dalam arti yang sesungguhnya. Frank Cizek, seorang seniman dan pendidik seni rupa dari Austria, merupakan orang yang pertama kali mengakui secara terbuka nilai intrinsik karya seni rupa anak (Efland; 1990, 195).
Cizek yakin bahwa karya seni rupa anak adalah karya seni yang hanya mampu dihasilkan oleh anak. Untuk itu, karya anak semestinya dibiarkan tumbuh bagaikan bunga tanpa pengaruh orang dewasa (Macdonald; 1970, 341- 342). Ide bahwa anak seharusnya dibebaskan dari pengaruh orang dewasa dalam kegiatan penciptaan karya seni rupa agar dapat mengaktualisasikan dirinya, kemudian populer dengan istilah pendekatan ekspresi-bebas atau pendekatan berbasis-anak.
Di Inggris, wacana pendidikan seni rupa multikultural mewarnai dunia pendidikan seni rupa di sekolah sejak dekade 1990-an. Karena pendidikan seni rupa multikultural dianggap penting dan menyangkut hal yang sensitif dan tidak mudah dilaksanakan, beragam pedoman penyelenggaraan serta perangkat kurikulum diterbitkan.
Berbagai pusat pendidikan seperti sekolah, museum, atau galeri seni rupa merekrut seniman dari kaum minoritas untuk dijadikan sebagai narasumber. Menurut Allison (1995, 148) di banyak kota besar di Inggris, sekolah yang jumlah muridnya dari kelompok minoritas cukup signifikan, umumnya melaksanakan program pendidikan seni rupa multikultural.
Di Australia, pendidik seni rupa pendukung pendekatan multikultural mengembangkan program yang relevan dengan kondisi Australia yang kehidupannya didominasi oleh budaya Barat, sementara masyarakat asli Australia sendiri yakni aborigin, dalam berbagai hal terpinggirkan.
Di Indonesia, berbagai gagasan tentang pendidikan seni rupa multikultural juga mulai banyak dilontarkan. Pada Seminar dan lokakarya pendidikan seni yang disponsori oleh Universitas Negeri Jakarta dan Ford Foundation di Jakarta pada pertengahan April 2001, misalnya, pendidikan seni multikultural dengan fokus pada kegiatan apresiasi seni nusantara secara khusus dibahas. Pada umumnya peserta seminar setuju dengan gagasan pendidikan seni multikultural. Persoalannya adalah bagaimana melaksanakannya di sekolah agar tujuan yang diemban oleh pendidikan seni multikultural dapat dicapai. (sut, berbagai sumb
)


lurus dan bengkokbelajar garis belum tentu membuat kita bisa membedakan lurus dan bengkok