BATU ASAH ART EDUCATION

Batu asah adalah komunitas nir-laba yang bergerak dalam bidang pendidikan seni, khususnya seni rupa. Batu asah berdiri 2007 diKotagede, Yogyakarta.
Berangkat dari cara pandang dan kegelisahan yang sama dalam melihat permasalahan pendidikan seni rupa, kami berupaya membuat sebuah ruang study alternatif yang lebih terbuka. Beberapa agenda yang telah kami lakukan seperti diskusi, workshop dan pameran. Selain itu kami akan terus bekerja sama dengan beberapa institusi dan komunitas di luar seni rupa yang nantinya dapat untuk mencetak formula dan konsep dalam menggembangkan pendidikan seni rupa.



16/02/09

pameran seni rupa talak 5

Pameran Seni Rupa Talak Lima
Gallery Biasa. Yogyakarta

28 February-05 Maret 2009

Latar belakang.

Rutinitas berkarya seni menjadikan setiap pelakunya lambat-laun akan menemukan suatu titik kulminasi yang memerlukan kanal penyaluran, dalam hal ini memerlukan sebuah wahana untuk mengkomunikasikan ide-ide secara lebih luas, sehingga dari sini muncul sebuah gagasan tentang penyelenggaraan pameran sebagai sebuah kelanjutan dari kerja kreatif. Seiring perjalanan dalam berproses dari semenjak pra sampai dengan paska kreatif, kami mengalami banyak gesekan dan benturan yang kami sadari memang seringkali tidak ringan sehingga kami merasa perlu untuk terus dan terus bertahan dan memperkeras diri.

Dunia seni (rupa) adalah sebuah dunia yang unik dan sekaligus memiliki tantangan tersendiri untuk memasukinya. Didalamnya terdapat sejuta pesona yang mampu mambuat banyak orang tertarik untuk menggelutinya namun didalamnya juga terdapat sebuah potensi yang menggelisahkan berkaitan dengan emosi dan perasaan yang konon terlibat dalam proses berkesenian, telah banyak orang yang merasakan pahit getir dalam berproses didalam dunia ini dan tidak sedikit pula yang putus asa, frustasi dan tak jarang berakhir tragis – mati, dan semuanya tetap berada dalam satu lingkup yakni seni.

Konsep pameran.

Kenikmatan ketika berproses dan memupuk idealisme berkembang bersamaan dengan rasa sakit dan keraguan yang tidak jarang muncul ketika ditengah-tengah proses terjadi gesekan-gesekan kepentingan yangmenyangkut keberlangsungan proses itu sendiri, muncullah pertanyaan apakah kegelisahan yang terjadi perlu terus dieksplorasi demi sebuah idealisme berkarya atau ditinggalkan dan keluar dari kolam seni ini untuk meredam kegelisahan tersebut? Hal tersebut umumnya muncul ketika seniman dihadapkan pada pilihan yang cukup pelik antara terus berkarya atau berhenti sementara ada banyak faktor yang merintanginya, diantaranya adalah faktor ekonomi dan lingkungan. Toh semua rintangan tersebut tidak lantas menghentikan seorang seniman untuk berlama-lama meninggalkan dunia seni tersebut, akan selalu ada rasa kerinduan untuk kembali dan melanjutkan mimpi dan harapan yang sempat tetputus dijalan.

Dari sinilah kami berupaya mengetengahkan sebuah konsep pameran yang memiliki latar belakang rasa benci, gemas dan sekaligus rindu terhadap dunia seni(rupa) itu sendiri, seperti sepasang kekasih yang bertengkar dan berpisah namun justru dari situlah akan dapat dimaknai betapa perpisahan justru akan mempertebal rasa cinta itu sendiri. Hal ini tidak hanya terjadi satu dua kali namun bisa saja terjadi berkali-kali namun tetap saja kerinduan ini meanggil untuk kembali dan kembali entah sampai kapan.

TALAK 5 merupakan idiom yang kami ambil untuk mewadahi tema ini dimana dalam pernikahan dikenal adanya talak (perceraian) sampai dengan 3 (tiga) kali, pada saat talak satu dijatuhkan masih ada kesempatan untuk rujuk kembali begitu pula dengan talak ke dua, namun bila talak ketiga dijatuhkan, dalam artian seseorang sudah bercerai dari pasangannya yang sama sebanyak tiga kali maka kesempatan untuk rujuk tersebut sudah tertutup. Dari sini kami mencoba menambah proses talak , mengandaikan bahwa dalam seni(rupa) terdapat hukum seperti ini maka niscaya talak tiga kali tidak akan cukup untuk membuat seniman untuk tidak kembali rujuk dengan kekasih seninya dan untuk itu perlu diadakan penambahan kesempatan talak sampai 5 (lima) kali dan bahkan lebih dan lebih...untuk mempertahankan kesetiaan dalam berkarya.


Peserta Pameran

1 Tegas Wahyu Nugroho



2. Dhidik Danardono


3. Fajar (Kunthing) Susanto



4. Ismu Ismoyo



5. Dedi Pristianto



6. Joenatan Kunta Arif Nugraha


7. Yus







Kuratorial Pameran

Unlimited Trajectory

Zamzami Almakki

Kamus kontemporer Arab – Indonesia Al ‘ashri ‘Arobi Indunisi menjelaskan bahwa kata talak (Tholaaqo) berarti perceraian. Kamus besar bahasa Indonesia menjelaskan bahwa talak adalah perceraian antara suami istri, lepasnya ikatan perkawinan. Dalam terjemahan kitab fiqhul mar'ah as-shalihah, secara syara' talak berarti memutuskan tali perkawinan yang sah, baik seketika atau di masa mendatang oleh pihak suami dengan mengucapkan kata-kata tertentu atau cara lain yang menggantikan kata-kata tersebut.

“Bagaikan diterpa badai ….”, begitulah istilah populer infotainment yang acap kali dipakai dalam menggambarkan peristiwa perceraian. Sebagai sebuah peristiwa, perceraian tergolong dalam peristiwa negatif. Menurut Hardiman (2005:170) peristiwa negatif adalah kehadiran sesuatu yang menakutkan atau menyedihkan, dan manusia terseret ke dalam hal tersebut tanpa mampu mengendalikannya. Dampak dari peristiwa negatif tersebut adalah trauma, yang bisa dikatakan sebagai luka emosi.

Jatuhnya talak (perceraian) bukanlah persoalan yang traumatis, melainkan proses menuju jatuhnya talak tersebutlah yang lebih sulit untuk dilalui dan membekas. Proses menuju tersebut adalah bagian dari pengalaman (experience) yang bersifat inderawi dan tentu saja membutuhkan penghayatan dalam menghasilkan pemaknaan.

Pemaknaan ‘Talak’ dalam ‘Talak Lima’ tidak terlepas dari rujukan pengertian ‘Talak’ secara bahasa yakni cerai dan berpisah. Jumlah ‘Lima’ tersebut bukanlah sebuah ijtihad dari klasifikasi ‘Talak’ dalam syara’ yang terbagi menjadi raj’i (masih bisa rujuk) dan bain (talak sebanyak tiga kali, yang bisa rujuk kembali melalui pernikahan istri dengan lelaki yang lain secara sah). Namun yang tampak dalam pengangkatan tema ‘Talak Lima’ ini adalah meminjam semangat ijtihad yang berarti sebuah usaha yang sungguh-sungguh.

Penambahan jumlah batas ‘Talak’ menjadi ‘Talak Lima’ dari yang berlaku maksimum yaitu ‘Talak Tiga’ dapat dimaknai sebagai sebuah usaha yang sungguh-sungguh dalam menjaga kesinambungan eksistensi berproses kreatif dalam dunia seni rupa. Sedangkan pasangan yang terlibat proses ‘Talak’ tersebut bukanlah pasangan suami istri yang terlibat konflik, melainkan intersubyektifitas; ‘aku dan engkau’ dalam arti yang luas. Ricoeur dalam Sugiharto (1996:104) menyatakan: “selama metafor masih dilihat hanya dari sudut “kata”, tidak akan pernah menghasilkan nilai produktif dan inventif (dayacipta) dan hanya akan berkutat pada segi deviasi (kesalahan kategori atau penyimpangan) saja”.

‘Talak Lima’ diibaratkan seperti monumen, prasasti ataupun kristalisasi semangat produktifitas berkarya sekaligus transformasi pengalaman estetik yang telah mereka lalui dalam durasi yang cukup panjang. Bagi mereka, proses kreatif pun tidak hanya saat berlangsung proses produksi ketika berhadapan dengan medium serta tools dalam berkarya. Proses tersebut terkait dengan pra hingga pasca produksi sehingga segala hal dan sesuatu yang berada dalam kurun waktu tersebut menjadi sebuah ‘modal’ dalam berkarya.

Pengalaman jatuhnya lima ‘Talak’ yang menimpa proses kreatif kelompok Daun Pintu seakan menjadi sebuah kritik terhadap batas-batas yang disediakan oleh persoalan-persoalan sosial yang menyangkut ideologi serta identitas. ‘Talak Lima’ pun seakan kembali mengaktualisasikan loyalitas dan ketidakrasionalan dalam bertindak.

“Orang yang rasional menyesuaikan dirinya dengan kondisi sekeliling.

Orang yang tidak rasional menyesuaikan kondisi sekeliling dengan dirinya.

Semua kemajuan bergantung pada orang yang tidak rasional”

- George Bernard Shaw -

Referensi

Nasbitt, John. 2008. Mind Set!. Jakarta: Daras Book.

Hardima, Budi F. 2005. Memahami Negativitas – Diskursus tentang Massa, Teror dan Trauma. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara.

Sugiharto, Bambang I. Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.





15/02/09

Study performance art


FJ Kunthing 2008 (yogyakarta)



Didik danardono (solo 2007)


Sekilas tentang Performance art

perbedaan performance art dan performing art

Performance art adalah sebuah karya reduksi dari berbagai hal (bentuk, faham, filosofi, teori, pemikiran) yang telah mapan. Ia banyak memecah dan mendobrak benteng-benteng dan puri agung paradigma lama hingga seringkali dicap sebagai karya anomali. Padahal semua karya manusia tak pernah lepas dari semiotika.

Berbeda dengan performance art, konsep dalam performing art adalah konsep yang tertata apik, tidak lagi melalui atau pun melahirkan ruang konseptual baru. Performing art berada dalam bidang yang sama sekali lain dengan performance art, karena produknya lebih artifisial dan welldone. [Performing adalah sebuah kata sifat yang berarti: ‘mempertunjukkan’. Performing art = seni mempertunjukkan, demikian menurut kamus terjemahan Inggris-Indonesia, namun hingga kini terjemahannya adalah ‘seni pertunjukan’. Terjemahan ini sudah selayaknya dikaji ulang agar tidak terjadi salah paham yang berkelanjutan

Performance art berpangkal dari pemahaman anti-estetika, yang berarti sangat menolak ‘jauh-jauh’ dan lepas dari segala kaidah seni (anti Art). Hal ini berarti berbagai unsur artifisial macam tari, teater, musik, sastra dan dramaturginya sama sekali tidak termasuk dalam setiap penampilan para performance artist. Keindahan performance art hanya pada konsep semata. Jadi penggunaan kata art atau seni di sini menjadi sangat penting, karena menerangkan ‘performance’ yang sebetulnya sangat memporakporandakan pengertian ‘pertunjukan’ secara konvensional

Indonesia merupakan kawasan unik bagi performance art. Para senimannya telah banyak memiliki predikat sebagai seniman internasional dengan kehadiran mereka di berbagai forum dunia di berbagai negara. Komunitasnya baik per individual juga makin marak dan sporadis di berbagai daerah, baik Bandung, Yogyakarta dan sebagainya. Uniknya adalah persepsi publik umum dan publik seni bahkan para pelakunya seringkali terabaikan dengan ketidakmeratanya persepsi yang sama dalam pengetahuan dasar dan sejarah performance art. Itu sebabnya, meski beberapa aksi merupakan inspirasi dari keberadaan performance art dari luar negeri (Barat), namun keberadaannya di negeri sendiri belum menjadi satu kata sepakat atas istilahnya itu sendiri. Sehingga wacana atas hal ini seringkali tak tersentuh publik luas dan belum diketahui pasti kapan sebetulnya waktu mula masuknya performance art di Indonesia.

Tentang tubuh dan media

Tubuh di sini menjadi medium konseptual, yang memiliki aneka rupa fungsi konseptual sebagaimana sebuah sistem dengan struktur organ-organnya. Sistem ini yang dipercaya dapat memproduksi aneka macam gagasan mengenai konsep-konsep baru. Maka arti penggunaan tubuh sebagai medium dalam performance art sangatlah jamak. Performance artist bebas menginterpretasikan hal ini. Eksplorasi tubuh dapat dilakukan dengan cara bermacam-macam. Setiap seniman berhak memperlakukan tubuhnya

Batu asah mencoba memberikan kesempatan kepada beberapa teman2 yang berkarya dengan media ini. Salah satunya dengan membuat dokumentasi dari beberapa teman selaku (performer) dan mendiskusikanya, Kami secara pribadi( masing masing sebagai anggota) dan kelompok....masih.... belajar membuat study tentang performance art dengan mengikuti beberapa event performance art salah satunya adalah: Hero off the day, Solo Performance art #1,2, Bandung art event, FKY Performance day ,dan beberapa acara performance art yang lain. Study ini bertujuan untuk mencari mempertemukan kegelisahan teman teman terhadap konsep performance yang tak lepas dari tradisi, pendidikan juga kebebasan ber-ekspresi.


10/02/09

Sopo sing Kuoso lha sopo yo ……………….!

Ini menjadi suatu kata yang terngiang ngiang di benak teman saya selama seminggu ini. “Kuasa, atau power semacam integritas, jika di tarik dalam sektor integral, yang nampak dalam dominasi beberapa individu terhadap sebagian orang”. Dan kekuasaan, terhadap wilayah, institusi, publik dan individu. Dari sana teman saya jadi berpikiran jika kita perlahan-lahan menjadi rejim terhadap diri sendiri, sekeliling kita dan orang lain. Kata teman saya, kuasa tak lagi nampak sebagai interaksi awal individu. Namun mulai berubah menjadi sosok dominasi mengerikan yang di dukung institusi yang dalam hal ini adalah resmi, negara. Dan (Ingat) katanya, dititiklah ini posisi kita menjadi baku dengan adanya kebutuhan kita yang dikuasai atau bahkan untuk di'kuasa'kan.Teman saya terus saja menenterjemahkan (bagaimana tolak ukur kita untuk menjembatani hal ini).


Kuasa dan pendidikan
Kita ternyata dididik untuk kelak menjadi penguasa 'kecil' dan 'besar' nantinya. Humanitas yang di arahka
n mengendalikan naluri 'kuasa'.Lihat, media, dengan kuasanya. Menciptakan berbagai macam pembenaran dan realita yang membentuk opini publik. Hal ini tentunya sudah basi jika masih dibahas saat ini, tapi itulah kenyataannya. Kuasa sosial juga yang menentukan untuk ikut arus atau tidak.

Sejauh mana kekuasaan di batasi oleh hierarki, ternyata telah terbayang semenjak konsep kenegaraan berdiri.Semenjak kasus heboh tak ada pendidikan murah, saya merasa ada perbenturan 'kuasa' . Dominasi dan hegemoni suatu ambang batas yang di sebut berdasar hanya berdasar pada faktor fisik. Kuasa ternyata jadinya lebih nampak pada wilayah aman dan pemaksaan ideologi di bandingkan dengan pemberdayaan potensi masyarakat. Ternyata hal ini jelas sekali, situasi, ekonomi dikambing hitamkan oleh negara dan di benturkan ke rakyat. Dimana tanpa di sadari kuasa individu, media dan institusi dan jutaan pemaknaan kuasa tersebut bertebaran di sekeliling kita dalam wujud 'non-fisik'. Intelektualitas dan eksistensinya terkadang rancu dengan arus dan pembentukan makna berpikir. konteks ini, rasanya sudah di mulai sejak masa masa arketipal.Kuasa, adalah sebutan tentang kondisi strategis terhadap sebuah situasi di masyarakat.

(kasus penganiayaan warga sipil baik fisik ataupun pikiran oleh negara).

Satu kata ketika salah satu dari hal itu menemui jalan buntu... perang ! , libas beybeh ! demi kekuasaan orang rela bertahan ...Semoga hal ini berwujud dalam takaran yang lebih baik. Sistemik dan tidak sekedar di tuliskan dalam konsep epistemik.

Kita merasa. Jembatan untuk berkomunikasi dengan baik dan saling mengerti. Walaupun sekarang telah di gantikan dengan tujuan dominasi ideologi dan saling mencengkram alam pikiran masing masing,termasuk dia. Dan kemudian muncul pertanyaan mengapa harus ada diplomasi kalau akhirnya hanya pamer kekuatan dan intelektualitas. Memang.Kuasa, bukan kwaci, kuaca dan kuampret, apalagi 'Kuas...gambar'. jadi dari pada pusing, Kulo tak nggambar mawon teng ndalan. Mboten sah mikir sopo sing kuoso.Pun mas, pun wengi gek ndang kulo tak mangkat. Sesok mluebu esuk ko ndak kulo kerinan. Sampun nggih